Berita Terbaru

Antiklimaks kasus Dana Hibah kabupaten Tasikmalaya

Baca Juga

Foto : Pikiran Rakyat

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung mengganjar Sekretaris Daerah Abdul Kodir dengan hukuman 16 bulan penjara serta denda Rp 50 juta subsider 2 bulan penjara dalam putusannya, Kamis 18 April 2019. Tuntutan jaksa penuntut umum sebelumnya adalah 2 tahun penjara.
Sementara itu, para terdakwa lain dipidana 1 hingga 2,6 tahun bui. Vonis Abdul Kodir lebih rendah—kendati disebut sebagai otak kejahatan—daripada terdakwa lain yakni Mulyana dan Setiawan  yang mendapat hukuman masing-masing 2,6 dan 2 tahun penjara dengan peran lapangan sebagai penghubung yayasan.
sebagiman dilangsir pikiran-rakyat.com Abdul Kodir bahkan mendapat jatah uang paling besar dalam kasus tersebut. Putusan itu menuai kekecewaan pegiat antikorupsi. Salah satunya adalah Nandang Suherman, anggota Perkumpulan Inisiatif Bandung dan Dewan Nasional Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran).
"Tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi dan kurang peka terhadap rasa keadilan masyarakat," ucap Nandang Suherman, Senin 22 April 2019. Alih-alih hukuman maksimal, Korps Adhiyaksa justru mengajukan tuntutan minimalis.
"Padahal sudah terang benderang praktik penyelewengan kekuasaan begitu terencana," ujar Nandang Suherman.
Jaksa seperti‎ melokalisasi agar kasus sunat dana hibah  itu tidak merembet ke aktor-aktor lain yang diduga terlibat.
Di sisi lain, ‎hakim juga tak berani mengungkapkan lebih jauh peran aktor tersebut seperti eks Bupati Tasikmalaya yang kini Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum.
Demikian pula dengan keterangan saksi-saksi dari pihak terdakwa yang diabaikan dan hanya fokus di BAP. Dalam catatatan Pikiran Rakyat, keterangan cukup penting yang muncul dalam persidangan adalah permintaan penasehat hukum terdakwa dan hakim agar Uu Ruzhanul Ulum dihadirkan sebagai saksi di persidangan terkait dugaan keterlibatannya dalam pemotongan hibah melalui kegiatan Musabaqoh Qiroatul Kubro dan pembelian sapi kurban.
Uu Ruzhanul Ulum terus mangkir dari panggilan tersebut tanpa ada upaya paksa menghadirkannya. Kondisi itu memunculkan kekhawatiran bahwa publik menjadi apatis dan tidak percaya terhadap mekanisme hukum guna mendapatkan keadilan. Tuntutan dan vonis yang begitu minim menjadi sorotan tersendiri.
‎"Kalau seperti ini, seperti bermain-main dan tidak akan timbul efek jera, bahkan seperti ditransaksikan tentang ayat-ayat tuntutan dan putusannya," ujar Nandang Suherman.

Tidak ada komentar