Berita Terbaru

Parpol dan Dilema Marketisasi Politik

Baca Juga


SELAMA dua dekade pascareformasi, cukup banyak di antara para pimpinan parpol di daerah dan pusat yang berhasil menjadi kandidat dalam bursa pilkada maupun pilpres. Namun, mayoritas di antara mereka gagal untuk menjadi pemenang. Sebaliknya, sejumlah tokoh nonparpol dengan mudah melenggang ke bursa pilkada dan pilpres dan banyak di antara mereka yang kemudian terpilih sebagai pemenang.
Mengapa tren tersebut kian kuat dalam panggung politik kita? Apa saja konsekuensinya bagi perkembangan sistem politik dan demokrasi kita di masa depan?
Masih Mengakar ke Atas
Selama dua dekade pascareformasi, karakteristik parpol kita belum mengalami perubahan substantif. Mayoritas partai kita belum sepenuhnya tumbuh dari bawah. Sebaliknya, banyak di antaranya masih mengakar ke atas. Ketika penetrasi pengaruh sejumlah elite populis yang mayoritas nonpartai tampak kian dominan, mayoritas parpol kita masih sangat bergantung kepada kelompok-kelompok dinasti politik dan kalangan oligarch.
Desain konstitusional menempatkan partai sebagai pilar penting penyangga sistem politik dan demokrasi. UU politik dan kepartaian juga membuka peluang bagi kelompok masyarakat mana pun untuk mendirikan partai politik. UU tersebut juga mengindikasikan pentingnya penguatan parpol agar tumbuh sebagai institusi politik demokratis dan tidak lagi tersubordinasi dalam kekuatan dan kepentingan rezim politik yang berkuasa.
UU tersebut juga membuka kemungkinan lahirnya mekanisme keorganisasian partai, regenerasi elite-elite parpol. Selain itu, mekanisme internal demokrasi bisa berkembang dengan baik di tiap-tiap partai. Namun, UU tersebut tampaknya belum mampu menjadikan partai kita tumbuh sebagai institusi politik yang demokratis. Partai yang ada belum sepenuhnya mampu tumbuh dari dan mengakar ke bawah. Sebaliknya, banyak di antara mereka yang masih terjebak dalam arus kepentingan politik dinasti dan tangan-tangan oligarki.
Kondisi itu memiliki konsekuensi cukup serius. Sulit sekali bagi kita untuk mendapatkan sosok pimpinan parpol yang lahir dari masyarakat biasa. Banyak di antara mereka masih dipandang sebagai sosok yang elitis. Akibatnya, tidak banyak yang mampu berkembang sebagai sosok populis yang benar-benar marketable, khususnya dalam arena pilpres dan pilkada.
Popular Vote sebagai Panglima
Tren tersebut tidak terlepas dari perubahan regulasi politik dan pemilu pascareformasi. Regulasi politik dan pemilu yang ada saat ini sebenarnya telah membawa kita ke arah marketisasi politik. Marketisasi yang saya maksudkan itu adalah sebuah kondisi dalam arena politik di mana proses interaksi, transaksi, dan kontestasi politik yang ada kian ditentukan oleh mekanisme pasar (bebas) dan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan mekanisme tersebut (Ahmad, 2017). Dalam konteks Indonesia, arena politik beragam, baik yang terkait dengan pemilu maupun pasca/nonpemilu.
Terkait dengan pemilu, arena tersebut meliputi pileg, pilpres, dan pilkada. Arus marketisasi politik dalam arena itu beberapa dasawarsa terakhir tampak kian nyata. Majoritarian democratic system yang kita adaptasi dalam sistem pemilu kita telah melahirkan popular vote sebagai panglima yang menjadi penentu arah politik dan pemerintahan kita. Siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak memiliki peluang untuk menjadi pemenang dan penguasa di lembaga-lembaga politik dan pemerintahan.
Tren marketisasi politik itu membawa konsekuensi positif. Salah satunya, mengakibatkan sebuah kondisi di mana setiap warga negara/pemilih dapat menggunakan hak pilih dalam beragam jenis pemilu secara langsung. Tren tersebut juga membuka peluang lahirnya para pemimpin populis. Banyak di antara mereka yang nonpartai, tapi kemudian bergabung ke salah satu partai, bahkan berpindah-pindah partai. Hanya, mayoritas memiliki karakteristik yang sama, yaitu bukan sosok organisatoris maupun ideologis yang berkarir dalam struktur organisasi partai.
Kembali Memperkuat Penyangga Demokrasi
Tren marketisasi politik itu berdampak struktural bagi keorganisasian, ideologisasi, dan kaderisasi parpol. Popularitas dan pengaruh para tokoh organisatoris dan ideologis di hampir setiap partai selama beberapa dasawarsa terakhir tampak kian berkurang. Di antara mereka, banyak yang gagal memenangi pileg dan pilkada. Bahkan, sangat banyak di antara pimpinan parpol yang sulit untuk masuk bursa kandidat serta memenangi pilpres dan pilkada. Penyebabnya adalah elektabilitas yang rendah dan beragam tekanan ”kekuatan pasar politik”.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat posisi dan peran parpol sebagai kekuatan penyangga sistem demokrasi?
Pertama, Diamond & Gunther (2001: xiv) menjelaskan, parpol dalam sistem demokrasi harus mampu menjalankan tujuh fungsi tradisionalnya. Antara lain, merekrut dan menominasikan kandidat yang diajukan dalam pemilu, memobilisasi dukungan dan partisipasi pemilih, serta menentukan isu-isu strategis yang tepat dalam berbagai arena pemilu dan kampanye. Selain itu, merepresentasikan berbagai jenis kelompok pendukung serta mengagregasi beragam kepentingan politik pemilih dan konstituen. Juga menyusun model pemerintahan yang efektif ketika berkuasa dan menyatukan beragam kelompok masyarakat yang terbelah menjadi entitas negara bangsa yang solid.
Di tengah arus marketisasi politik, keberadaan institusi parpol yang mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut menurut saya tidak lagi memadai. Parpol harus memiliki kemampuan lebih dari itu. Yaitu, mampu menjalankan fungsi marketing politik secara strategis serta memiliki strategi jangka pandek dan panjang dalam merespons tren marketisasi politik. Terkait dengan hal itu, kekuatan keorganisasian partai perlu terus dikonsolidasikan ke arah yang disebut Ormrod (2009), Lees-Marshment (2001a, 2001b, 2004, 2010), Lees-Marshment & Stromback (2012), dan Ahmad (2017) sebagai market oriented. Harapannya, parpol bisa semakin lincah dalam memetakan dan mengakuisisi elemen-elemen yang menjadi penentu mekanisme pasar politik dan kesuksesannya dalam arena pemilu dan nonpemilu.
Kedua, sudah saatnya para ketua umum parpol di negeri ini mengembangkan sistem meritokrasi serta talent schooling dan talent scouting yang andal sebagai bagian dari proses kaderisasi dan regenerasi. Dengan cara itu, terbuka kemungkinan bagi parpol untuk mendapatkan kader yang populis sekaligus memiliki karakter ideologis yang sejalan dengan basis ideologi partai. Sosok-sosok semacam itu tidak hanya bisa menjadi brand ambassador partai. Lebih dari itu, mereka juga berpeluang menjadi ketua umum partai. Tentu saja hal tersebut bisa terwujud jika demokrasi di tiap-tiap parpol berkembang dengan maksimal. (*)
*) Staf pengajar bidang komunikasi politik dan direktur Presidential Studies-Decode, Fisipol UGM, Jogjakarta

Tidak ada komentar