Berita Terbaru

Polarisasi Politik UU ITE, Produk Hukum Tanpa Jiwa

Baca Juga



Oleh : Panji Agung Mangkunegoro

Kita di Papua semuanya akan mengerti sejak disahkannya Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 2008 lalu menjadi perangkat hukum untuk menjebloskan orang ke dalam penjara ketika mereka tidak menyukainya.
Dalam konteks, suka tidak suka dan bermuatan dendam serta perencanaan pembungkaman dengan cela dalam momen Pilkada berdasarkan track record seorang target objek.
Di Kota Jayapura, meskipun jumlah korbannya tidak banyak, ada orang-orang tertentu yang bisa memainkan kekuatannya dengan mengajukannya ke pengadilan melalui proses laporan di Reskrimsus Polda Papua yang kami nilai sudah salah kaprah.
Di sini, politik lokal memainkan kekuasaannya dengan menggunakan UU ITE sebagai piranti membungkam mereka-mereka yang dianggap kritis ataupun sekadar melakukan curahan hati atas isu sosial atau politik yang terjadi di lingkungannya.
Dan yang sebenarnya menjadi korban UU ITE adalah yang dilaporkan, bukan pelapor.
Dari semua korban tersebut, ada tiga latar belakang subjek yang melakukan penuntutan.
Pertama, orang biasa. Maksudnya, orang biasa yang tidak memiliki kekuatan finansial. Kedua, meraka-mereka yang kritis. Dan ketiga, afiliasi partai politik.
Beberapa individu yang tergabung di partai politik kemudian mengadukan lawan politiknya atas nama pencemaran nama baik.
Laporan tindakan pidana melalui UU ITE ini semakin meningkat seiring dengan terjadinya polarisasi politik yang membelah masyarakat menjadi dua, tiga bahkan empat pilihan dalam momen politik Pilkada dan Pileg di Papua.
Dan ini akan menjadi kebiasaan bahkan kebablasan, karena UU ITE ini menjadi senjata ampuh para politikus sebagai ajang balas dendam.
Kerap kali terjadi persengkokolan antara saksi (pelapor) dengan penyidik atau penuntut umum agar terlapor atau tersangka dicarikan sanksi pidana yang memungkinkan terlapor yang kemudian menjadi tersangka itu dengan pasal pidana di atas 5 tahun meski sangkaan pelanggaran itu tidak sampai 5 tahun.
Modusnya, berupa pelanggaran Pasal 310 atau Pasal 113 KUHPidana tentang penggunaan atau pencemaran nama baik yang mencantumkan juga Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan tujuan untuk memperkuat sangkaan penyidik atau penuntut umum.
Bahkan, keterangan ahli hukum pidana atau hukum lainnya juga diminta agar bisa mendukung terpenuhinya unsur-unsur yang disangkakan tersebut.
Tentunya, keterangan ahli disiapkan dengan segala sesuatunya dan patut diduga tidak diberikan secara gratis.
UU ITE hanyalah susunan kalimat yang bisa menjadi bencana atau bermakna bagi masyarakat akan sangat tergantung pada mental dan moral para penegak hukumnya.
UU ITE akan menjadi tanpa jiwa jika penegak hukumnya tidak menggunakan logika ,dan hati nuraninya tapi hanya berusaha memenuhi unsur-unsur pidana dalam pasal tersebut tanpa memahami asas, tujuan dan makna disahkan UU itu.
Apa lagi, penerapan UU ITE ini bermuara pada perdebatan politik dalam dinamika Pilkada. Sehingga jelas bahwa UU ini bernuansa politik dan menjadi produk hukum yang laris menjelang dan sesudah Pilkada (momentum politik).
Kebebasan berpendapat merupakan sikap alamiah di era demokrasi dan bagian prasyarat tumbuhnya partisipasi publik yang sehat.
Pertanyaannya, apakah para pemegang kebijakan dan elite partai politik mau mencabut “pasal karet” tersebut?
Dari gelagatnya, jawabannya adalah tidak. Justru UU ITE menjadi alat ampuh bagi pelbagai kubu politik maupun non-politik untuk membungkam musuh-musuhnya.
Yang harus bijak adalah kita orang2 yang kritis. Siapkan diri dengan pembuktian serta argumentasi. Dan juga aparat penegak hukum yang harus bisa melihat semua konteks perdebatan politik serta perbedaan pendapat saat Pilkada.
Netralitas penegak hukum harus di tunjukan dengan cara bijak melihat situasi kapan dan saat apa serta pada momen apa? Dan juga apakah terindikasi menjadi masalah pribadi atau untuk kepentingan banyak orang?
Akan menjadi rancu ketika UU ITE menjadi produk hukum yang bernuansa politik.
Karena semua berawal dari momen politik dan keterlibatan orang-orang kritis dalam mempertahankan argumentasinya hingga berpotensi ada upaya-upaya kriminalisasi terhadap seseorang.

Tidak ada komentar